Jumat, 22 Mei 2009

Status Tunangan part 2

Untuk yang belum sempat baca Status Tunangan part 1, cari aja di label novel!!

Hari sudah berangsur malam. Rasa kesalku kepada Radith sudah berkurang drastis. Tentunya karena Louis. Lega banget rasanya.
Bulan sudah menduduki singgasana matahari. Matahari telah melarikan diri ke barat. Malam yang tenang kembali mewarnai malamku. Aku sedang asyik menikmati malam dengan bertengger di tepi jendela kamarku yang menghadap ke halaman depan. Darisana, aku bisa melihat bintang-bintang dan bulan. Seneng banget bisa dapat kamar yang super nyaman ini. Namun, kenyamananku terganggu akibat alunan musik rock yang berasal dari kamar Radith. Amarahku kembali naik. Dengan gusar aku menutup telingaku dengan bantal.
Sial ni anak! Nggak tahu apa kalo misalnya ngebunyiin lagu segitu kenceng bakal kena lempar pake kotorannya ayam ama tetangga! Ahh!! Damn!
Runtukku dalam hati. Aku mengutuk-ngutuk Radith yang berada di kamar sebelah. Tahu kalo Cuma ngutuk-ngutuk tidak akan membuahkan hasil, aku bergegas untuk menghampiri kamar Radith dengan muka yang murka. Dengan keras aku menggedor pintu kamarnya.

Aku menunggu di depan pintu kamarnya. Aku mencoba kembali mengetuk pintu kamarnya. Lagi, pintu tidak dibuka. Dengan kesal aku langsung membuka pintu kamarnya. Ketika melihat kedalam aku langsung berteriak,
“WAAAAAAA!!!!!!!!!”
BAMMM! Pintu kututup dengan keras. Mama yang berada di bawah heran dengan kegaduhan di atas.
“Ten, lagi ngapain kamu diatas?”tanya Mama dari bawah.
“Nggak, Ma!” jawabku bohong. Mana mau aku menceritakan kalo aku tadi melihat Radith tanpa mengenakan baju alias telanjang dada. Untung aja, si Radith udah pake celana boxernya, kalo nggak, mati berdiri deh! Tiba-tiba, Radith membuka pintu dengan cepat, aku menatap ke muka Radith yang sepertinya gusar.
“Ngapain lo masuk-masuk nggak ngetok pintu dulu? Nggak belajar tata krama lo?”ujarnya sengit. Dengan kesal dan alis mengkerut aku membalas,
“Enak aja! Aku udah ketok dua kali tau nggak? Gara-gara musik lenong nyasar lo tuh, makanya lo nggak denger! Ngeganggu orang aja!”balasku tak kalah sengit.
“Nggak usah ngeles lha lo! Mau lihat badan gue kan lo? Gue tahu, kita udah ada hubungan, tapi tunggu waktu dong!” tuturnya kasar. Aku tidak mengerti dia ngomong apa.
“Peduli! Nggak penting bisa liat badan lo! Bisa bintilan mata gue tahu nggak! Huh!!!” dengusku kesal pada Radith. Aku langsung pergi dari hadapan Radith dan menuruni anak tangga satu persatu dengan cepat. Radith kembali menutup pintu dengan lumayan keras.
“Aku sumpahin, tuh pintu bakal kekunci sendiri! Biar lo kekurung!” runtukku kesal.
Dengan segera aku menghampiri Mama yang sedang masak untuk makan malam. Dengan muka sebal, aku berbicara pada Mama.
“Ma, si Radith tuh, nyebelin!” jelasku pada Mama. Mama hanya menggelengkan kepala.
“Ah, nggak mungkin lah. Dia Cuma belum terbiasa dengan lingkungan baru aja, Ten! Butuh waktu untuk beradaptasi.”, ujar Mama kalem. Aku memaklumi. Tapi, tetep aja Radith tuh ngeselin.
“Ma, Radith tuh kapan pulangnya? Ten nggak suka dia lama-lama disini!” tuturku.
“Mama nggak tahu sayang. Dia kan sebaya ama kamu. Anggap dia baik aja lah, Ten.”,ujar Mama lagi dengan kalemnya.
“Ma, kalo dia sebaya denganku, dia nggak satu sekolah ama Ten kan?” tanyaku dengan takut-takut. Mana mau aku sesekolah ama monster jutek plus cuek kayak si Radith.
“Nggak, dia nggak sekolah disini. Di Bali, dia udah ngambil bimbel, setidaknya dia udah tahu pelajaran sampe semester depan.” Ujar Mama.
Buseet! Ampe semester 2. Pinter bener tuh anak. Tapi ya baguslah, aku bisa menghembuskan nafas lega. Setelah puas dengan penjelasan Mama, aku beranjak ke meja makan menanti makanan yang akan disiapkan Mama.
“Ten”, ujar Mama sebelum sempat aku duduk di kursi, “kamu panggil Radith sana. Suruh dia turun. Kita makan bareng. Hari ini papa nggak ada. Keluar kota. Jadi kita makannya bertiga aja. Nggak asyik kalo berdua. Cepet sana!” titah Mama padaku.
“Yah, Mama..”, tuturku malas. Mama hanya mendecakkan lidahnya. Mau tak mau aku beranjak dan pergi menaiki anak tangga dengan langkah yang super berat. Di depan pintu Radith, aku mengangkat kepalan tanganku ingin mengetuk pintu kamarnya. Namun, aku ragu-ragu. Aku diam sejenak.
Ah, Ten! Ayo, berani! Hitungan ketika, satu, dua, tiga!
KRIIT. TOK! TOK! TOK!
Aku langsung terlonjak kaget. Saat aku ingin mengetuk pintu kamar Radith, berpas-pasan dengan Radith membuka pintu. Maka, dengan sukseslah aku mendaratkan ketukanku di jidatnya. Aku langsung membekap mulutku ketika melihat muka Radith sepenuhnya.
“So, Sorry, Dith! Sumpah, nggak sengaja!!” pintaku kalang kabut. Radith langsung menjitak kepalaku keras.
“ADOW! Sakit!”ringisku.
“Balasan buat yang tadi!” ujarnya padaku dan beranjak meninggalkanku. Dengan sambil mengelus-elus kepala, aku mengumpatnya,
“Heh, lo tuh ya! Udah syukur gue minta maaf! Dasar lo! Nyokap nyuruh lo turun! Makan bareng!”
Radith yang aku umpat terus berjalan menuju anak tangga dan menuruninya satu persatu. Dengan malas, aku mengekorinya. Ini semua demi masakan Mama. Jika tidak, jangan harap aku mengekorinya menuju ruang makan.
Setibanya di ruang makan, Mama menyambut kami dengan riang gembira. Aku melihat Radith. Ajaib, mukanya berubah ekspresi, dari yang sangar menjadi senyum-senyum. Aku ternganga melihat perubahan drastis itu.
“Tante, makasih ya! Jadi ngerepotin!” ujar Radith lembut. Aku terkejut mendengar dia berkata dengan lembut seperti itu. Mama yang disanjung hanya ketawa-ketiwi ala ibu arisan.
“Nggak, ah, Radith. Kamu ini.”ujar Mama malu-malu.Radith segera duduk di salah satu kursi makan. Aku mengambil kursi makan yang jauh dari si Radith. Mama berada di tengah meja makan.
“Nah, ayo makan!” ajak Mama.
“Tante duluan aja. Radith belakangan.”, ujar Radith dengan lembutnya. Aku semakin ternganga melihatnya.
“Ah, iya deh. Tante dulu ya, Dith.” Saat Mama mengambil nasi, aku sempat melirik ke arah Radith, dia mengedipkan matanya padaku. Aku bergidik ngeri.
“Tuh kan, Ten. Radith anaknya baik kok. Kamu ini yang bermasalah.”, tiba-tiba Mama berujar.
“Yah, Mama. Kok ngebelain dia sih Ma? Aku anak Mama lohh!!” ujarku tak percaya. Mama hanya mengibaskan tangannya dan mulai makan. Radith selanjutnya mengambil makan dan aku yang terakhir mengambil makan. Selama makan, suasana sangat sunyi. Tidak ada yang berani untuk berbicara. Aku juga tidak berani berbicara. Tepatnya, tidak mau berbicara apa-apa. Maunya santai saja sambil makan. Makan adalah salah satu media untuk menjernihkan pikiran. Apalagi kalo habis digangguin makhluk yang bernama Radith.
“Udah selesai, Ma. Aku duluan.”, ujarku pada Mama dan beranjak meninggalkan meja makan. Namun, Mama mencegatku.
“Eits, tunggu!” Aku menghentikan langkahku. “Nanti, jam 9 kamu datang ke kamar Mama ya! Ada yang mau Mama omongin!” ujar Mama. Aku mengangguk tanda mengerti. Palingan mengenai Radith. Aku bergegas memasuki kamarku dengan malas. Setibanya di kamar, aku melirik jam. Sudah jam setengah sembilan. Dengan malas aku mengambil novel kesayanganku, Twilight. Aku membuka lembar demi lembar halaman buku itu. Walaupun sudah kubaca puluhan kali, tetap saja menarik untuk dibaca. Aku mendengar derit pelan dari kamar di sebelahku, pertanda kalo si Radith sudah menghuni kamarnya.
Dengan segera aku meletakkan buku kesayanganku itu diatas meja belajar dan bergegas pergi menuju kamar Mama.
Setibanya di kamar Mama, Mama sudah siap sedia di atas tempat tidur sambil duduk bersila. Mama menepuk kasur yang disebelahnya. Aku mendekati tempat tidur dan duduk tepat di tempat yang ditunjuk oleh Mama.
“Nah, Ten. Ini saatnya Mama ngasih tahu tentang hubungan Mama dengan Pak Fahri dan Bu Anita. Dulu, saat Mama masih SD, Mama sudah kenal dengan Pak Fahri dan Bu Anita. Entah takdir atau tidak, Mama, Pak Fahri dan Bu Anita selalu satu sekolah hingga kuliah. Saat itu, Mama dan mereka berdua menikah disaat yang sama di tempat yang berbeda. Ketika kami bertemu, kami berjanji, jika nanti Mama punya anak perempuan dan dia punya anak laki-laki, kalian akan kami jadikan tunangan. Dan ternyata benar-benar nyata. Sebenarnya, Pak Fahri dan Bu Anita menitipkan Radith disini agar kamu bisa dengan Radith.”, jelas Mama panjang lebar dengan penuh ekspresi.
Aku kaget mendengarnya. Masa aku sudah ditentuin jodohnya dari jabang bayi! Nggak bisa gitu dong. Aku kan bisa nentuin siapa suami aku nanti. Aku segera memprotes. Semua tidak boleh terjadi sesuai dengan keinginan Mama.
“Ma, tapi aku punya hak dong, untuk milih tunanganku! Aku masih mau nyari pacar!” protesku keras.
“Tapi buktinya, kamu sampai sekarang belum punya pacar juga, jadi saran terbaik ya, tunangan!” jelas Mama. Aku tidak terima.
“Tapi, Maa..!” ujarku memelas.
“No! No! Tidak ada protes-protes! Mulai sekarang, kamu harus menerima Radith!”
“Jadi Mama ngelarang aku deket ama Louis cuma buat si Radith jelek itu?” tanyaku tak percaya.
“Dia nggak jelek, Ten!” ralat Mama. Aku mendengus kesal.
“Sekarang kamu kembali ke kamarmu. Mama nggak mau liat kamu mengadu yang tidak-tidak mengenai Radith! Mengerti?” tutur Mama. Aku mengangguk berat.
Emang ya, Ibu-Ibu zaman dulu, suka seenak jidatnya! Aku tak habis-habisnya mengeluh saat menaiki tangga menuju kamarku. Saat aku melihat ke arah lorong kamarku, aku menemukan sosok Radith yang berdiri dengan melipat kedua tangannya di dada dengan bangga.
“Ngapain lo disitu? Gue mau masuk!” ujarku pada Radith. Radith tidak bergerak dari tempatnya yang semula. Dengan badan yang lumayan tegap itu, cukup untuk menghalang aku memasuki kamarku.
“Lo udah tahukan siapa gue?” tanyanya padaku. Aku mengangguk pelan.
“Nah, jadi, lo harus sopan ama gue. Ngerti kan Tin?”ujarnya padaku lagi.
“Ten! Bukan Tin!” balasku sengit pada Radith.
“Oh, Ten?” ucap Radith sambil mengacungkan 10 jarinya. Aku langsung mendorong badan Radith ke belakang. Radith hanya terkekeh kecil melihat aku mendorongnya. Aku sudah nggak peduli. Hancur sudah masa-masa pacaranku di SMA.

Setibanya dikamar, aku tidak langsung tidur di balik lembutnya selimutku. Aku menenangkan diriku terlebih dahulu. Setelah aku senam nafas, aku pergi ke jendela samping dan mengetuk jendela kamar Louis. Aku menunggu hingga Louis membuka jendela.
Tak berapa lama setelah ku ketuk, Louis membuka jendela kamarnya dengan bersungut-sungut.
“Ada apa lagi, Ten?” tanyanya malas. Aku memasang muka masam.
“Louis, masa Radith itu tunangan aku!” ujarku lemas. Louis yang tadi bersungut-sungut langsung terbelalak.
“Serius?” tanyanya tak percaya. Aku mengangguk-angguk berat. Mulut Louis membentuuk kata ‘WOW’.
“Ya ampun. Ten, kamu baru tahu sekarang kalo kamu di tunangin ama si Radith? Emang Radith tuh sejelek apa sih? Ampe kamu nggak mau? Dari namanya sih, dia cakep. Lah, kata lo dia secakep gue!” cerocos Louis cepat.
“Louisss! Kok malah lu yang nyerocos sih! Harusnya aku tahuu!” ujarku sewot.
“Eh, ya. Sorry lah! Silahkan!” Louis mempersilahkan aku untuk curhat kepadanya.
“Aku kesel aja, Louis! Masa jaman sekarang masih ada remaja yang diiket ama kontrak bonyoknya dulu? Kalo kayak gitu, aku langsung aja dikawinin. Nggak perlu ngasi kesempatan buat aku untuk nyari pacar! Uhh!” keluhku pada Louis. Louis mengangguk-angguk lalu menguap.
“Yaudah.. Aku ngantuk.. Aku mau tidur! Dagh!” ujar Louis tak berperasaan lalu menutup daun jendela kamarnya. Aku ternganga melihat Louis yang hanya menanggapi segitu simple lalu pergi tidur.
Aku mengikuti jejak Louis, yaitu tidur dan bermanja dibalik hangatnya selimut tempat tidurku.

0 komentar: