Sabtu, 02 Mei 2009

Status Tunangan

Ini novel aku yang entah ke berapa. Harap dibaca dan harap maklum kalau banyak isinya yang salah ketika!

PART 1
Hai semua. Perkenalkan, aku Ten. Mungkin kalian aneh mendengar nama ‘Ten’. Ten ini bisa berarti ‘10’, tapi juga bisa berarti langit yang luas. Kadang aku suka dengan nama ini, tapi aku juga sering benci dengan nama ini. Aku sekarang sudah beranjak ke kelas 1 SMA. Banyak orang berkata, kelas 1 SMA adalah masa-masa remaja melakukan semua tindakan yang ingin dilakukan. Seperti, nyoba mengantar nyawa dengan nge-track di jalanan. Kadang ada yang coba-coba minta ditilang dengan membawa mobil keliling kota. Ada yang belajar cabut disetiap pelajaran yang dibenci. Ada yang nyoba-nyoba nge-drugs untuk menambah masalah. Ada yang nyoba-nyoba pacaran dengan serius dan banyak lagi.
Aku sebagai salah satu anak kelas 1 SMA bisa digolongkan dengan anak yang tidak bermasalah. Termasuk dalam hal cinta. Aku sampai sekarang tidak berniat untuk memiliki dan dimiliki seseorang. Aku masih niat untuk ngeceng sana, ngeceng sini. Mumpung aku belum setua nenek-nenek peot yang bisanya cuma makan sirih.
Alasanku untuk tidak pacaran bukan hanya itu, rata-rata, cinta zaman sekarang hanya digunakan sebagai taruhan, ego diri dan kenikmatan tersendiri. Sebagai taruhan. Itu sudah sering terjadi. Berani menjual kata cinta hanya untuk taruhan. Bagiku orang yang seperti itu adalah pecundang. Dan lagi, ada yang berani mengungkapkan cinta hanya via elektronik. Sedangkan di tempat mereka bertemu, mereka hanya diam-diaman. Apa itu tidak aneh? Di tempat lain, dia mengucapkan sumpah bahwa tidak menyukai si ‘dia’. Tapi, jika di elektronik, bukan main gombalnya! Itu juga ku sebut pecundang. Ego diri. Mungkin agak rumit. Biasanya ego ini hanya ada di kalangan orang atas. Mereka sengaja mencari pacar yang top abizz, hanya untuk menjadi terkenal ataupun hanya untuk membuat dirinya dibilang hebat dalam masalah cinta. Dan lagi, sekarang cinta dapat membuat buta! Aku tidak terlalu mengerti. Tapi, teman-temanku sepertinya juga ada yang di butakan cinta. Tidak peduli umur, waktu dan keadaan. Aku tidak memikirkan itu! Karena aku seorang wanita, aku sangat membenci yang namanya BUAYA, Dan PLAYBOY. Seumur-umur jangan sampai pernah di kadalin ama buaya! Apa ada yang bercita-cita jadi penangkap ‘buaya’?
Yah, perkenalan dengan ku belum selesai sampai disini. Aku ini cewek yang bisa digolongkan manis, karena dua lesung pipiku yang manis ini. Rambutku hitam sedikit bergelombang seperti rambutnya …hmm… rambutnya britney kalo diitemin. Panjangnya Cuma hampir sepinggang. Badanku cukup proporsional. Aku bukan anak dari golongan atas ataupun dari golongan bawah. Aku ini anak dari keluarga yang orangtuanya adalah pengusaha. Perkenalan cukup sampai disini. Karena aku sekarang sedang belajar dikelasku tercinta.
“Ten, serius dong! Entar Bu Ati ngamuk!”bisik temanku dari sebelah. Nama temanku ini Louis. Berkelamin jantan alias cowok. Anaknya cakep, baik, ramah, murah senyum, suka menolong, pintar dan lumayan kaya raya. Louis dan aku sudah berteman sejak kami kecil. Rumah kami tetanggaan. Sudah banyak orang yang bilang kalo aku dan Louis itu pacaran karena kami sanking lengketnya. Aku udah nggak ngerasa kalo kami ini hanya sahabat, tapi saudara. Rangkul-rangkulan dengannya udah biasa. Ya, kami bener-bener udah deket banget sih!
“Iya, iya.”, jawabku dan kembali memperhatikan pelajaran yang diajarkan oleh Bu Ati didepan. Pelajaran Biologi. Aku lumayan suka pelajaran ini. Pelajaran ini berlangsung selama 3 jam. 3 jam ini adalah 3 jam terakhir. Jadi, setelah kami selesai belajar Biologi, kami akan pulang ke kediaman masing-masing. Aku sudah tidak sabar untuk pulang ke rumah.
Siang itu, bel pulang berbunyi nyaring. Anak-anak dikelasku sudah mulai berhamburan keluar dari kelas, termasuk aku dan Louis.
“Louis, pulang nebeng lagi, ya! Hari ini aku nggak dijemput. Kata nyokap, supir aku ngejemput tamu di bandara. Aku nggak tahu siapa tamunya. Jadi, bolehkan?” pinta ku pada Louis. Louis mengerutkan alisnya.
“Ya, boleh ajalah. Bayar e!” jelas Louis padaku. Aku mengerucutkan bibirku tanda aku tidak mau membayar.
“Masa ama sobat ndiri kayak gitu? Tega lu! Yaudahlah. Iya, aku bayar.”, ujarku akhirnya.
“Siip deh. Yuk, ke parkiran!” ajak Louis padaku.
Aku mengekorinya dari belakang. Dari kelas ke parkiran hanya membutuhkan waktu 5 menit. Di parkiran, aku dan Louis langsung menghampiri honda CS1 milik Louis. Louis mengambil helm ganda di bagasinya dan melemparkannya padaku. Aku segera mengenakan helm pemberiannya itu. Setelah Louis menaiki motornya, aku juga ikutan naik.
“Siap?”tanya Louis padaku.
“Siap, bos!” jawabku.
Motor langsung dihidupkan dan melesat meninggalkan SMA 81-ku tersayang.
Selama perjalanan, aku dan Louis hanya diem-dieman, bukan maksudnya marahan, tapi emang percuma kalau misalnya ngobrol, toh, nggak bakalan kedengeran.
Waktu 15 menit yang ku tempuh dengan Louis membuahkan hasil. Aku sampai dirumah dengan selamat sentausa. Rumahku ini berwarna putih krem, bertingkat 2, dan mempunyai halaman yang cukup luas untuk lari-lari disana. Di halaman rumahku itu tumbuh beberapa pohon-pohon rindang seperti cemara. Aku senang dapat tinggal dirumah ini. Senang banget, karena tidak semua orang mempunyai rumah yang semewah rumahku ini.
“Thanks ya, Louis! Bayarnya ngutang!” Aku mengucapkan terima kasihku. Dia mengangguk kecil.
“Iya, ngutang aja terus. Udah ah, aku nggak mau lama-lama di rumah kamu, nanti nyokap kamu marah ke aku! See you!” Louis mempamitkan diri. Aku mengangguk. Aku menunggu hingga Louis memasuki halaman rumahnya yang berada di samping rumahku.
Setelah Louis menghilang dari penglihatanku, aku segera memasuki rumahku sendiri. Pintu diketuk.
TOK TOK TOK! KRIIIT!
Pintu dibuka oleh Mamaku.
“Eh, udah pulang ya, Nak? Pulang ama siapa tadi kamu, Ten?”tanya Mamaku.
“Mah, kasih aku masuk dulu dong. Panas ni!”tuturku gerah. Mama menggeser tubuhnya sehingga aku bisa lewat dan memasuki rumahku yang adem. Aku menghirup nafas lega lalu duduk di ruang keluarga.
“Tadi Ten pulang ama Louis.”, jawabku. Mama mengerutkan dahinya.
“Kenapa sama dia, Ten? Kan udah Mama bilang, jangan terlalu dekat dengan Louis. Ah, kamu ini, nggak ngedengerin kata-kata Mama!”sergah Mamaku cepat. Aku hanya menghela nafas berat.
Ya, entah kenapa Mama sensitif banget kalo udah masalah Louis. Bukannya aku nggak direstuin temenan ama si Louis, tapi gara-gara kedekatan aku ama Louis. Mama nggak suka aku terlalu dekat dengan Louis, seperti selalu main bareng, pergi bareng. Mama hanya ingin melihat aku dan Louis itu setakat teman bukan sahabat dari kecil. Aku tidak mengindahkan permintaan Mama yang satu ini, karena memang susah untuk menjadikan Louis teman, karena aku sudah menganggapnya saudara.
“Tapi, Mah. Apa salah Louis coba? Louis tuh anaknya baik, pinter, rajin, ganteng, tinggi, kurang apa coba, Ma?” Aku segera melawan tanggapan Mama tadi.
“Karena itulah Mama nggak mau kamu deket-deket ama Dia!” sahut Mama dan pergi meninggalkanku yang bingung dengan ucapan Mama.
Karena aku ini anak yang super santai, aku tidak memikirkan arti dari kalimat Mama tadi. Aku hanya segera meniti jalan ke kamarku dengan menaiki anak tangga satu persatu. Kamarku berada di ujung lorong lantai dua. Tidak menyeramkan sama sekali memiliki kamar di ujung lorong. Sebenarnya, diujung lorong ada dua kamar, yaitu kamar yang bisa melihat ke halaman depan dan samping dan kamar yang bisa melihat ke halaman belakang dan samping. Aku memilih untuk menempati kamar yang bisa melihat ke samping dan ke halaman depan. Karena, apabila aku membuka jendela samping, aku langsung bisa berhubungan dengan Louis yang berada di rumah sebelah. Sedangkan kamar yang satu lagi –yang mengahadap belakang dan samping- tidak ditempati oleh siapapun. Hanya kamar kosong.
Aku melirik ke arah kamar yang kosong itu. Aku bingung, karena pintu kamar kosong itu terbuka, kakiku bergerak mendekati pintu kamar itu. Dengan derit pelan aku melihat ke dalam kamar itu. Aku kaget, kamar yang tidak ditempati itu kini sudah bersih dengan tempat tidur yang berada tepat di tengah ruangannya.
Aku memasuki kamar itu dengan perlahan. Aku merasa kamar ini di renovasi. Tapi kenapa aku nggak sadar kalo kamar ini di renov ampe dari yang berdebu ke yang bersih mentereng gini. Aku segera keluar dari kamar itu dan memanggil Mama dari atas.
“Maaa! Kamar kosong kok diisiin kayak gitu? Emang siapa yang mau tinggal disitu?”tanyaku dengan suara lantang kepada Mama yang berada di dapur.
“Untuk tamu sayang! Kamu ganti baju cepat! Mama malu kalo misalnya kamu pake baju sekolah gitu! Cepet!” jawab Mama tak kalah keras.
Aku mengangguk tak mengerti. Ya sutralah, aku segera memasuki kamarku. Kamarku lumayan luas dengan kasur yang berada di tengah ruangan. Aku juga memiliki 1 lemari besar, 1 meja belajar yang tertata rapi di tepi ruangan. Dengan segera aku mengganti bajuku dengan kaos coklat dan boxer hitam.
Setelah mengganti pakaian, aku mendengar bunyi mobil dari bawah. Aku segera mengintip dari jendela kamarku. Aku melihat mobil Innova terpakir nyaman di depan garasi rumahku. Pak Min, supirku, turun dengan tergesa-gesa dan membukakan pintu depan dan belakang untuk mempersilahkan orang didalamnya untuk keluar. Aku memicingkan mataku untuk dapat melihat siapa gerangan yang datang kerumahku.Yang keluar dari mobilku adalah seorang pria yang kuduga berumur 30-40an beserta istrinya dan anaknya yang berjenis kelamin laki-laki yang umurnya berkisar, sebaya denganku. Aku kembali melihat Pak Min yang membuka bagasi mobil dan mengeluarkan semua barang yang ada.
“Buset! Itu mau nginep berapa bulan?”gumamku ketika melihat begitu banyaknya barang yang dikeluarkan oleh Pak Min.
Aku segera beranjak dari tepi jendela dan keluar dari kamarku untuk menelisik apa yang terjadi di bawah sana. Tepatnya, aku mengintip dari lantai atas ke arah ruang tamu. Aku dapat melihat Mama asyik ngobrol ala Ibu-Ibu arisan dengan tamunya itu. Tiba-tiba, Mama memanggilku dengan keras,
“Ten! Sini turun! Ada tamu!”
Aku dengan gelagapan menjawab, “I..Iya, Maa!” Dengan tergopoh-gopoh dan buru-buru, aku menghampiri Mama ku yang ada di bawah.
“Bapak, Ibu, ini anak saya, Ten. Ten, kenalkan ini Pak Fahri dan Bu Anita.”, Mama memperkenalkan aku dengan Pak Fahri dan Bu Anita. Aku menyalami kedua orang itu. Mataku tertubruk pada anak mereka yang ganteng seperti Louis. Mama sadar kalau aku menatap ke anak Pak Fahri dan Bu Anita.
“Oh, ya. Ini anak mereka Ten, namanya Radithya. Panggilannya Radith. Radith, ini anak tante, namanya Ten.” Sahut Mama antusias. Aku menyalami Radith sambil berkata, “Ten”, dia juga membalas, “Radith”.
Hum, suaranya ngebass gitu. Lumayanlah untuk ukuran cowok. Aku duduk di samping Mama untuk mendengarkan percakapan.
“Jadi, kami titip Radith ya! Cuma untuk beberapa bulan. Nanti, kalau kami sudah pulang dari Hawaii, kami hubungi kamu. Lagipula, sekalian untuk memenuhi perjanjian kita dulu. Kamu nggak keberatankan?” ujar Bu Anita. Mama dengan ramah langsung menjawab,
“Ya nggak lah! Kitakan udah sahabatan ampe tua gini, masa aku nggak mau. Radith, kalo kamu bosan dirumah tante, bilang aja. Nanti tante ajak kamu jalan-jalan deh!” ujar Mama pada Radith. Radith yang mendadak diikut sertakan dalam pembicaraan hanya bisa mengangguk.
“Iya, tante.”
“ Nah, jadi kami permisi dulu ya. Radith, kamu jangan nakal-nakal disini!” Pak Fahri memperingati anaknya itu.
“Oh ya, jangan lupa, ceritain ke anak kamu, tentang perjanjian kita dulu!” ujar Pak Fahri. Lalu, mereka berdua pamit pergi. Sepeninggalan Pak Fahri dan Bu Anita, aku tidak berani mengajak bicara si Radith.
“Ten”, panggil Mama. Aku langsung menoleh, “Iya ma?”
“Kamu antar Radith ke kamarnya! Ke depan kamar kamu itu!”jelas Mama. Aku termangu. Kok aku yang ngenter sih? Yang ngangkat koper siapa?
Tanpa banyak mengeluh, aku mengantarkan Radith ke kamarnya.
“Dith, sini, ikutan aku!” Radith hanya diam dan mengikutiku ke kamarnya. Setibanya disana, aku langsung membukakan pintu.
“Nih, kamar kamu! Di depan kamar kamu ada kamar aku, kalo ada perlu sesuatu bilang aja ke aku!” jelasku padanya. Radith langsung memasuki kamarnya. Aku melirik dia.
“Ngapain kamu disitu? Keluar! Aku mau istirahat!”perintahnya padaku tiba-tiba dengan kasar. Mukaku yang semula senang langsung berubah murka. Aku segera menutup pintu kamarnya dengan kasar. Aku dengan cepat menuruni anak tangga dan menghadap ke Mama,
“Ma! Si Radith tu darimana sih? Kasar banget dia ngomongnya ama Ten!” dengusku kesal. Mama hanya merengut.
“Dia anaknya baik kok! Dia pindah dari Bali.” Terang Mama. Selesaikan mendengarkan penjelasan yang singkat itu, aku beranjak ke kamarku. Aku segera membuka kaca jendela samping kamarku dan mengetuk jendela kamar Louis yang berada di sebelah dengan tongkat yang sudah ku sediakan. Beberapa saat kemudian, Louis muncul dari balik jendela kamarnya.
“Kenapa, Ten?”tanya Louis.
Aku dengan kesal langsung bercerita, “Ihhh! Louis! Aku kedatangan anak entah-berantah yang sekarang nginep dirumah aku ampe berbulan-bulan! Nyokap bokap dia ntah berambus ke mana! Nama anak sengak itu Radithya. Tahu nggak? Masa tadi dia merintah aku seenak jidat dia? Siapa yang nggak kesel coba! Mau aku telan aja dia! Kesel banget ni!” tuturku cepat pada Louis yang berada di seberang sana.
“Yah, mungkin dia cape, Ten. Biasanya, kalo orang yang kecapean, yang keluar pasti kata-kata yang merintah dan kasar. Santai aja lah! Lagipula, Radith itu belum ngeganggu hidup kamu kan?” ujar Louis bijaksana.
“Louis, dia udah ngeganggu hidup aku! Baru datang aja udah bikin aku muak! Gimana kalo udah berbulan? Bisa muntah 3X sehari!” ujarku masih dengan kesal.
“Nggak boleh gitu, Ten. Nanti kalo terlalu benci jadi cinta lho! Eh, emang si Radith tuh, tampangnya kayak mana?”tanya Louis antusias.
“Nggak jauh beda ama kamu! Cuma, dia tuh nggak baik kayak kamu!” jawabku segera. Louis mengangguk.
“Ternyata emang aku lah pria idaman wanita!”ujar Louis PD. Aku ternganga melihat penyakit Louis kambuh.
“Kamu tuh ya, ke PD an! Idih, inikan Cuma sebagai contoh aja! Ihh!” ujarku cepat. Aku tidak mau Louis salah menafsirkan dengan apa yang aku katakan. Louis hanya tertawa menanggapi apa yang ku katakan.
“Udahlah, Ten. Kalo naksir bilang aja! Kamu bisa jadi cewek ke 1001 kok!” candanya padaku.
“Garing lu!”balasku. Louis tetap tertawa. Mungkin ini salah satu cara agar aku tidak kesal lagi. Ternyata aku memang tidak salah memilih Louis sebagai sahabat terbaikku.

Tunggu buat part 2 ya!

0 komentar: